Kebahagiaan itu simpel tapi terkadang kitanya yang selalu membatasi kata sabar sehingga tidak mudah memaafkan selanjutnya sulit mengikhlaskan kesalahan orang lain dan sulit melupakan nya o_O
Manusiawi sih seperti itu but gak ada salahnya kan mencoba jadi peribadi yg lebih baik :D
Ok, bahas masalah manusiawi memanglah qodrat yang dianugrahi sang Khaliq yang menurut saya erat hubungannya dengan sosiologi. sepemahaman saya sosiologi mempelajari hubungan antar individu dalam berkomunikasi.
Kenapa saya berargumen bahwa manusiawi adalah anugrah sebab kita memanglah manusia dan saya merasa disanalah rahasia sang Khaliq menciptakan manusia yang tidak mapu hidup seorang diri sebagaimana kisah ketika nabi adam diciptakan. Bukti ilmiah dari kemanusiawian ini dibuktikan pada dasar teori yang pernah saya ingat ketika belajar sosiologi dahulu. Teori itu mengatakan bahwa manusia itu adalah makhluk sosial.
Rahasia besar yg saya rasakan dari kemanusiawian itu adalah menjaga hubungan antar sesama manusia (hablumminannass) sebab sang Khaliq maha penyayang dan paham bahwa akal manusia tidak akan sampai padaNYA.
Pernah kan atau mungkin sering merasa punya masalah yang begitu rumit lalu mengadu pada sang Khaliq tapi belum merasa cukup hanya dengan mengadu padaNYA? Manusiawi bukan? Itulah rahasianya manusia butuh bercerita kepada sahabat keluarga atau orang yg bisa dipercaya yang dapat melihat permasalahan seorang tersebut dari sisi lain yang tidak mampu dy lihat sendiri dan membantunya memecahkan masalah tersebut. Namun beda halnya dengan masalah yang memang mutlak berkaitan dengan masalah qodrat/takdir dan menurut keyakinan saya ada rencana lain yang telah dipersiapkan sang Khaliq dibalik permasalahan tersebut.
Jika permasalahan sudah terpecahkan rasa gembira pastilah menghampiri dan didalam kegembiraan itu terdiri dari ujian dan nikmat sang Khaliq. Dikatakan ujian ketika lupa untuk bersyukur (lupa menjaga hablumminallah) dan lupa untuk berterimakasih pada orang yg membantu (lupa menjaga hablumminannass). Selanjutnya dikatakan nikmat ketika pandai bersyukur/ingat kepada sang Khaliq dan pandai berterimakasih pada orang yg membantu.
Ketika kegembiraan itu telah menghampiri dan seseorang telah pandai bersyukur dan pandai berterimakasih, menurut saya disanalah letak ilmu ikhlas yg sesungguhnya. Maka saya berargumen bahwa ikhlas erat kaitannya dengan rasa senang/gembira. Bukankah seorang yg suksess berkarir itu disebabkan karena kesenangannya pada suatu bidang pekerjaan?
Sama halnya dengan memberi sesuatu kepada orang lain. Orang yg memberikan sesuatu pada orang lain dapat dikatakan ikhlas apabila tanpa pamrih dalam artian tanpa adanya timbal balik langsung dari orang yg diberikan atau ada maksud dari memberi itu.
Sebagai contoh memberikan hal yg dianggap remeh. Bukankah jika seseorang menganggap apa yg dia berikan itu adalah hal remeh baginya, dia akan senang jika ternyata hal remeh tersebut sangat berguna bagi orang lain?
Tapi kebanyakan orang menurut saya salah kaprah dalam memahami kata "memberi dengan ikhlas". Orang yg saya katakan salah kaprah itu berasa sudah memberi dengan ikhlas, tapi ketika orang yg diberikan ternyata tidak pandai berterimakasih, sipemberi langsung jengkel/gondok atau merasa menyesal memberi.
Bukankan keikhlasan orang ini perlu dipertanyakan? Bukankan apa yg diberikan juga perlu dipertanyakan keremehannya baginya?.
In my opinion, orang seperti ini tidak bisa dikatakan memberi dengan ikhlas, mungkin lebih tepat saya kiyaskan dengan kata qurban. Qurban menurut sepemahaman saya memberikan hal yg berharga, mempersembahkan pada sang Khaliq dengan niatan Lillahitaala atau taat pada perintah sang Khaliq, keikhlasannya akan dipicu dari niat itu sendiri yang berkeyakinan bahwa sang Khaliq lah yg akan membalas. Nah bukankah pemberi yg jenggkel/gondok atau menyesal itu salah menilai keremehan sesuatu yg diberikan atau mungkin ada maksud tertentu? Yang selanjutnya dapat merubah makna memberi dengan ikhlas menjadi berqurban. Berarti salah si pemberi sendiri dong berqurban kok ditujukan pada manusia? Ya jatuhnya jadi gondok dan menyesal. Secara otomatis yang dapat menghilangkan kegondokan ini satu satunya ya dengan mengubah niatannya kan? Nah setelah niatnya telah diubah barulah kegondokannya hilang, setelah gondok hilang rasa senang pastilah muncul, setelah merasa senang barulah keikhlasan dapat diraih. Setelah meraih dan memahami ilmu ikhlas barulah bisa diterapkan ke hal lainnnya seperti melupakan kesalahan orang lain.
Dan jadilah orang yg paling bahagia.
it just my opinion or hipotesa dari saya.
Jika ada kata yg salah dan perlu diperbaiki monggo di share ke saya. :-) \m/
Sumber gambar : line @dakwahislam
Manusiawi sih seperti itu but gak ada salahnya kan mencoba jadi peribadi yg lebih baik :D
Ok, bahas masalah manusiawi memanglah qodrat yang dianugrahi sang Khaliq yang menurut saya erat hubungannya dengan sosiologi. sepemahaman saya sosiologi mempelajari hubungan antar individu dalam berkomunikasi.
Kenapa saya berargumen bahwa manusiawi adalah anugrah sebab kita memanglah manusia dan saya merasa disanalah rahasia sang Khaliq menciptakan manusia yang tidak mapu hidup seorang diri sebagaimana kisah ketika nabi adam diciptakan. Bukti ilmiah dari kemanusiawian ini dibuktikan pada dasar teori yang pernah saya ingat ketika belajar sosiologi dahulu. Teori itu mengatakan bahwa manusia itu adalah makhluk sosial.
Rahasia besar yg saya rasakan dari kemanusiawian itu adalah menjaga hubungan antar sesama manusia (hablumminannass) sebab sang Khaliq maha penyayang dan paham bahwa akal manusia tidak akan sampai padaNYA.
Pernah kan atau mungkin sering merasa punya masalah yang begitu rumit lalu mengadu pada sang Khaliq tapi belum merasa cukup hanya dengan mengadu padaNYA? Manusiawi bukan? Itulah rahasianya manusia butuh bercerita kepada sahabat keluarga atau orang yg bisa dipercaya yang dapat melihat permasalahan seorang tersebut dari sisi lain yang tidak mampu dy lihat sendiri dan membantunya memecahkan masalah tersebut. Namun beda halnya dengan masalah yang memang mutlak berkaitan dengan masalah qodrat/takdir dan menurut keyakinan saya ada rencana lain yang telah dipersiapkan sang Khaliq dibalik permasalahan tersebut.
Jika permasalahan sudah terpecahkan rasa gembira pastilah menghampiri dan didalam kegembiraan itu terdiri dari ujian dan nikmat sang Khaliq. Dikatakan ujian ketika lupa untuk bersyukur (lupa menjaga hablumminallah) dan lupa untuk berterimakasih pada orang yg membantu (lupa menjaga hablumminannass). Selanjutnya dikatakan nikmat ketika pandai bersyukur/ingat kepada sang Khaliq dan pandai berterimakasih pada orang yg membantu.
Ketika kegembiraan itu telah menghampiri dan seseorang telah pandai bersyukur dan pandai berterimakasih, menurut saya disanalah letak ilmu ikhlas yg sesungguhnya. Maka saya berargumen bahwa ikhlas erat kaitannya dengan rasa senang/gembira. Bukankah seorang yg suksess berkarir itu disebabkan karena kesenangannya pada suatu bidang pekerjaan?
Sama halnya dengan memberi sesuatu kepada orang lain. Orang yg memberikan sesuatu pada orang lain dapat dikatakan ikhlas apabila tanpa pamrih dalam artian tanpa adanya timbal balik langsung dari orang yg diberikan atau ada maksud dari memberi itu.
Sebagai contoh memberikan hal yg dianggap remeh. Bukankah jika seseorang menganggap apa yg dia berikan itu adalah hal remeh baginya, dia akan senang jika ternyata hal remeh tersebut sangat berguna bagi orang lain?
Tapi kebanyakan orang menurut saya salah kaprah dalam memahami kata "memberi dengan ikhlas". Orang yg saya katakan salah kaprah itu berasa sudah memberi dengan ikhlas, tapi ketika orang yg diberikan ternyata tidak pandai berterimakasih, sipemberi langsung jengkel/gondok atau merasa menyesal memberi.
Bukankan keikhlasan orang ini perlu dipertanyakan? Bukankan apa yg diberikan juga perlu dipertanyakan keremehannya baginya?.
In my opinion, orang seperti ini tidak bisa dikatakan memberi dengan ikhlas, mungkin lebih tepat saya kiyaskan dengan kata qurban. Qurban menurut sepemahaman saya memberikan hal yg berharga, mempersembahkan pada sang Khaliq dengan niatan Lillahitaala atau taat pada perintah sang Khaliq, keikhlasannya akan dipicu dari niat itu sendiri yang berkeyakinan bahwa sang Khaliq lah yg akan membalas. Nah bukankah pemberi yg jenggkel/gondok atau menyesal itu salah menilai keremehan sesuatu yg diberikan atau mungkin ada maksud tertentu? Yang selanjutnya dapat merubah makna memberi dengan ikhlas menjadi berqurban. Berarti salah si pemberi sendiri dong berqurban kok ditujukan pada manusia? Ya jatuhnya jadi gondok dan menyesal. Secara otomatis yang dapat menghilangkan kegondokan ini satu satunya ya dengan mengubah niatannya kan? Nah setelah niatnya telah diubah barulah kegondokannya hilang, setelah gondok hilang rasa senang pastilah muncul, setelah merasa senang barulah keikhlasan dapat diraih. Setelah meraih dan memahami ilmu ikhlas barulah bisa diterapkan ke hal lainnnya seperti melupakan kesalahan orang lain.
Dan jadilah orang yg paling bahagia.
it just my opinion or hipotesa dari saya.
Jika ada kata yg salah dan perlu diperbaiki monggo di share ke saya. :-) \m/